Muridku ini sangat cerdas. Di usianya yang baru tujuh tahun, ia sudah lancar berbahasa Inggris tanpa kursus dan bukan turunan bule. Pengetahuan umumnya luar biasa. Mungkin karena hobi membacanya ia jadi lancar berbahasa dan luas pengetahuannya. Banyak hal yang aku belum tahu, ia sudah tahu. Lalu, kenapanya ia selalu mendapat nilai jelek untuk matematika? hmmm...ada yang aneh..
Di kelas dua, nilai matematikanya lumayan berubah,lebih baik, walau masih di bawah rata-rata kelasnya. Aku tanya ke pak gurunya. Ternyata Pak guru selalu memberi pendampingan khusus saat ulangan matematika. Dengan penuh kasih sayang dan kesabaran pak guru menemaninya sambil menghiburnya dengan senandung merdu dari mulut pak guru. Wah..sepertinya ini tidak mungkin aku lakukan.
Terus terang aku penasaran. Feelingku mengatakan anak ini bukannya tak bisa tapi...apa ya...walau ia selalu mengatakan...Aku nggak bisa bu...susah..katanya tiap kali aku sodorkan soal matematika padanya...
Suatu ketika, akhirnya jawaban itu keluar juga..AKU NGGAK SUKA..
Eureka...penyebabnya karena TAK SUKA...bukan TAK BISA...
Suatu hari aku mengajaknya berbincang bak teman. Aku berusaha mencari tahu, apa yang menyebabkan ia tak menyukai matematika. Amazing...sungguh cerdas ”Ibu..matematika itu tidak asyik..tidak berkembang..tak ada gunanya..dari dulu 1+1 ya = 2, nggak pernah berubah, untuk apa dipelajari, mending aku baca buku bu...”curhatnya
Subhanalloh...ini dia biang keladinya..paradigmanya itu yang membekukan otak kirinya.
Di sebuah Negeri yang kaya berdiamlah seorang raja yang sedang gundah gulana. Pasalnya, Sang raja menginginkan jubah kebesarannya yang baru, namun sayangnya penjahit istana sedang sakit. Singkatnya, sang raja pun membuat sayembara kepada seluruh anak negeri.”Barangsiapa yang dapat membuatkan jubah raja, maka ia akan mendapatkan hadiah sekantung uang emas” begitu isi sayembara tersebut. Berbondong-bondong para penjahit di pelosok negeri mencoba peruntungan.
Selang beberapa hari kemudian, satu per satu penjahit menghadap raja untuk menunjukkan karyanya. Orang pertama gagal, jubah itu tak masuk ke badan raja, ia pun dimasukkan ke penjara. Orang kedua gagal pula, jubah itu kebesaran, Orang ketiga hingga ke enam juga demikian, gagal dan masuk penjara. Tiba giliran orang ketujuh., dengan tenang ia mempersilahkan raja mencoba jubah buatannya. Ternyata, betul-betul pas. Raja sangat gembira, ia pun memberi hadiah yang ia janjikan.
”Kamu tahu nak? Mengapa ia berhasil sedangkan enam penjahit lainnya gagal?” Tanyaku padanya. Pundaknya diangkat, bibirnya tertarik ke samping, matanya mengernyit sebagai jawabannya. ”Enam orang penjahit yang pertama, mengukur badan Sang raja dengan alat ukur tidak standar, ada yang menggunakan jengkal tangannya, ada yang menggunakan kayu potongan, ada yang hanya mengira-ngira saja. Sedangkan penjahit ketujuh, mengukur dengan meteran, alat ukur jahit yang sudah pasti ukurannya” jelasku. ”Kok?” Tanyanya. ”Enam penjahit pertama belum belajar matematika nak, makanya mereka tidak tahu ukuran yang benar, jawabku sambil menatap matanya. Alis matanya terangkat, bibirnya tertarik ke samping kanan dan kiri, matanya berbinar penuh makna...
Yang kuingat setelah itu, angka 8 tertoreh di rapot semester genap kelas tiganya...
It's just MyLittleNote from mystudents...
(mylittlenote yang kutorehkan sekitar 10 tahun silam saat aku mengajar di kelas tiga SD, waktu itu materi yang harus kuajarkan mengenai ukuran)
Ada beberapa hal yang coba kuambil dari kisah ini:
1. Setiap anak pasti punya alasan, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, tugas pendidik (ortu, guru) untuk berusaha menggalinya, karena permasalahan akan bisa diselesaikan jika kita mampu memahami akar permasalahan sebenarnya.
2. Kemampuan otak manusia mampu secara optimal berkembang jika menerima sesuatu yang BERMAKNA. Pada kenyataannya, anak-anak lebih banyak dijejalkan berbagai mata pelajaran yang wajib mereka ingat dan hapal tanpa perlu tahu memahami mengapa mereka harus melakukannya. Anak-anak dipaksa belajar berhitung bak kalkulator, tanpa mereka tahu untuk apa?Mengapa?Jadi teringat, di kelas yang sama, aku mengajar seorang anak pindahan dari Australia. Ia mengeluh tentang pelajaran Math yang tak mampu ia kerjakan. Di Ausi, ia baru saja memahami konsep penjumlahan, di Indonesia, pada level yang sama ia sudah harus menghitung penjumlahan bersusun-susun. Tapi yang menarik, pemahaman soal cerita mengenai penjumlahan yang aku berikan dengan mudah ia kerjakan, sedangkan seorang muridku lainnya,yang secara intensif mengikuti les "hitung cepat" acapkali tak mampu memahami soal cerita. Di usia yang seharusnya pemahaman konsep menjadi fondasi berpikir, sudah terganggu dengan pemikiran "short cut" yang biasanya diajarkan pada lembaga-lembaga bimbingan belajar. Alhasil, anak-anak memang jago mengerjakan soal untuk ujian atau lomba tapi tak berhasil mengaplikasikannya dalam kehidupan mereka, hingga seusia kita (seperti kita?). Wallohu'alam.
Menulis Untuk Diri Menulis Untuk Berbagi
Bunda Yes